Ketika Anak Jarang Ziarah ke Makam Orang Tua, Simak Kisah Yang Akan Membuat Anda Merenung
Ketika anak jarang ziarah ke makam orang tua, Radarislam.com ~ Hubungan persahabatan antara ‘Auf bin Malik al-Anshari dengan as-Sha’ab bin Jatstsamah al-Muhajiri begitu erat.
Saking akrabnya, keduanya saling berjanji satu sama lain, siapa yang meninggal duluan yang meninggal maka yang tetap nasib bakal datang untuk menziarahi. Tetapi takdirnya, as-Sha’ab bin Jatstsamah al-Muhajiri meninggal lebih dulu.
Berbagai bulan kemudian usai kepergian ash-Sha’ab, ia hadir dalam mimpi Auf bin Malik. Kata ash-Sha’ab yang telah meninggal, “Mengapa engkau telat?”
“Bukan kami yang menentukan segala sesuatu. Semuanya ada dalam Kekuasaan Allah Ta’ala. Apabila Dirinya Menghendaki terlepas, maka terlepaslah. Serta apabila Dirinya Menghendaki terbelenggu, maka terbelenggulah.” jawab ‘Auf bin Malik.
Kemudian, ‘Auf bin Malik bertanya terhadap sahabatnya itu, “Apakah orang yang telah meninggal dunia dapat merasakan keberadaan orang nasib yang menziarahinya?”
“Ya.” Jawab ash-Sha’ab, “Ini buktinya.” Ash-Sha’ab menunjukkan warna hitam di salah satu lututnya.
“Mengapa lututmu berwarna sehitam itu?” tanya ‘Auf bin Malik.
“Aku mempunyai hutang sepuluh dinar terhadap seorang Yahudi. Aku belum sempat bayar hutangku kepadanya.” tutur ash-Sha’ab.
“Apakah anakmu mengenal hutangmu itu?” tanya ‘Auf bin Malik.
“Tidak ada yang mengenalnya.” jawab ash-Sha’ab.
“Pergilah ke rumahku. Ambilk4n u4ng yang aku simp4n di dind1ng b4tu.” kat4 ash-Sh4’ab.
Tak lama seusai itu, ‘Auf bin Malik terbangun. Siang harinya, ia bergegas ke rumah sahabatnya itu, mencari dinding yang memakai batu, mengambil uang serta membayarkannya terhadap si Yahudi. Jumlahnya persis sepuluh dinar.
Seusainya ‘Auf bin Malik di rumah si Yahudi sambil mengangkat uang untuk melunasi hutang ash-Sha’ab, si Yahudi terbelalak.
“Demi Zat yang mengutus Musa dengan kebenaran. Sungguh, tak ada seorang pun yang mengenal faktor ini (kecuali aku serta ash-Sha’ab bin Jatstsamah),” ucap si Yahudi.
Dari kisah di atas, berbagai pertanyaan dalm benak kami merupakan pakah ada orang tua kami yang telah meninggal dunia? Apakah ada sahabat dekat dalam iman yang telah dipanggil Allah Ta’ala? Adakah guru, ustadz, kiyai, alias siapa pun-yang berjasa dalam nasib kita-yang lebih dulu menghadap Allah Ta’ala?
Apabila telah, seberapa tak jarang kami mengunjunginya? Berapa kali kami dalam menziarahinya? Apabila tak sempat apalagi anti untuk ziarah, kisah ini sewajibnya menyadarkan Anda.
Wallahu a’lam. [Radarislam/ Tpb]